Selasa, 13 Februari 2018

Review Film Dilan 1990

Haloo, kali ini saya akan review tentang film yang baru saya tonton. Film Dilan 1990. Yaps beberapa pasti sudah pada tau film ini bercerita tentang flash back masa SMA Milea Adnan Hussain, yang diperankan oleh Vanesha Prescilla. Film ini diangkat dari novel karya Pidi Baiq, yang notabene merupakan kisah nyata dari si Milea sendiri, tentang bagaimana sosok Dilan dalam hidupnya. Walaupun sampai sekarang kita tidak pernah tau siapa sosok Dilan sebenarnya.
Oke, berdasarkan alur, kita tidak akan kecewa. Karena berdasarkan alur cerita, Film Dilan ini sama persis dengan yang ada di buku. Bahkan dialognya! Tapi buat justru ini yang buat kita secara tidak langsung jadi spoiller bagi diri kita sendiri. Bayangkan saja kita nonton film yang kita sudah tau jalan ceritanya. Ditambah lagi ketika nonton saya duduk di samping sekelompok anak remaja (kelihatannya anak SMA) yang menurut saya cukup berisik jadi spoiler. Seperti…
“Oh ini Dilan sembunyi di belakang sekolah, kan.”
“Gereja!”
“Eh, ini yang mau ditampar, kan?”
“Ohh itu yang namanya susi.”
“Itu yang suka sama Dilan, kan?”
It’s okey! Mungkin waktu masih SMA saya juga pernah seperti itu. Walaupun rasanya cukup mengganggu.
Sebelum menonton Film Dilan 1990 saya sudah membaca novelnya terlebih dahulu dari Dilan 1990, lanjut ke Dilan 1991, sampai ke buku Milea. Sehingga saya tidak terlalu penasaran dengan jalan ceritanya akan seperti apa. Namun saya sangat menikmati Film Dilan 1990 ini karena akhirnya saya bisa menikmati visualisasi dari gambaran novel yang saya baca. Dan tidak bisa dipungkiri sebagai perempuan, saya merasa baper selama menonton. Bahasa-bahasa puitis yang digunakan pada novel, divisualisasikan secara nyata sesuai dengan ekspektasi saya sebagai pembaca novel Dilan 1990. Itulah mengapa saya cukup menikmati film ini meskipun sudah tau jalan ceritanya akan seperti apa. Karena yang dinikmati bukanlah alur cerita filmnya, namun lebih kepada rasa baper karena menonton visualisasi dialog puitis antara Dilan dan Milea.
Pada Film Dilan 1990 banyak dialog antara Dilan dan Milea yang sebenarnya sudah ada di novel. Semuanya hampir sama persis. Hanya saja setting waktu tahun 1990 kurang terasa pada film. Gaya berpakaian dan berdandan pemain yang berperan sebagai siswa, juga latar tempat yang digunakan, kurang mewakili konsep tahun 1990. Tapi itu tidak begitu mengganggu. Karena menurut saya yang membuat kita tertarik untuk menonton Film Dilan 1990 ini pun bukan setting waktu atau latar tempatnya. Namun lebih kepada jalan ceritanya (untuk yang belum baca novel dan penasaran dengan jalan ceritanya) atau romantisme antara Dilan dan Milea. Dan tentunya trailer-nya yang sangat menjual.
So far kalau kita mengeluhkkan film adaptasi novel yang tidak sesuai dengan novel itu sendiri, hal ini tidak akan dikeluhkan pada Film Dilan 1990 ini. Namun saran saya, jika kamu memang benar-benar ingin menikmati Film Dilan 1990. Jangan baca novelnya dulu. Supaya kamu tidak menjadi spoiler bagi dirimu sendiri. Film ini sangat direkomendasikan untuk orang yang lagi pengen nonton film yang buat baper atau sekadar bernostalgia dengan masa SMA.
Selamat menonton, jangan baper


Sabtu, 27 Februari 2016

Review Novel Hujan - Tere Liye


Dunia sedang terancam oleh jumlah manusia yang semakin hari semakin membludak. Berbagai cara dicoba oleh ilmuwan untuk mengatasi pembludakan umat manusia. Namun hasilnya nihil. Butuh skala yang sangat mematikan agar rencana tersebut berhasil. Adalah Soke Bahtera salah satu ilmuwan yang ditugaskan untuk mengatasi iklim yang semakin ekstrim di bumi. Dunia memutuskan untuk mengambil alih kendali iklim di bumi. Baginya pengendalian iklim oleh manusia berdampak buruk bagi bumi. Benar saja, suhu bumi menjadi meningkat. Tidak ada lagi awan yang terlihat di langit. Proyek dunia pun direncakan. Sebagai ilmuwan, Soke Bahtera mendapatkan dua tiket untuk masuk dalam daftar manusia yang dievakuasi. Tidak ada pilihan lain. Umat manusia harus pindah ke tempat yang lebih baik, karena tidak setetes pun air langit turun menghujani bumi.

Kabar buruk bagi Lail, karena ia selalu suka hujan. Segala hal penting dalam hidupnya terjadi saat hujan turun. Sayangnya kenangan indahnya saat hujan turun menjadi kenangan yang menyakitkan. Lail tahu bahwa Soke Bahtera lebih mencintai Clara. Tentunya Soke Bahtera akan membawa Clara bersamanya ke dalam daftar manusia yang dievakuasi. Seberapa keras ia berusaha melupakan ingatannya tentang Soke Bahtera, justru ingatan tersebut semakin menyakitinya. Lail memutuskan untuk melupakan segala ingatannya tentang Soke Bahtera. Kecanggihan teknologi medis kala itu sudah sampai pada taraf yang luar biasa. Sehingga dengan kecanggihan tersebut manusia bisa memanipulasi ingatannya, memilih ingatan mana saja yang ingin ia simpan atau lupakan. Sayangnya Lail terlalu naif untuk memutuskan bahwa dengan melupakan, hatinya akan kembali pulih. Bukankah berdamai dengan kenangan, tidak peduli seberapa menyenangkan atau menyakitkan, merupakan cara yang terbaik untuk melupakan?

Apa rencana para ilmuwan untuk menyelamatkan keberlangsungan umat manusia di muka bumi? Akankah keputusan Lail untuk menghapus ingatannya tentang Soke membuat hatinya kembali pulih? Dan siapakah yang Soke Bahtera pilih untuk pergi bersamanya? Semua plot cerita tersebut disatukan oleh Hujan.

Tere Liye kembali menulis buku tentang fiksi-sains. Berbeda dari buku-buku sebelumnya, yang mengangkat economic science, kali ini Penulis membawa plot ceritanya pada tema klimatologi dan geofisika. Penjabaran mengenai ilmu klimatologi dan geofisika pada buku ini kurang detail. Seperti ketika Penulis menjabarkan istilah-istilah ekonomi pada novel Negeri di Ujung tanduk, Negeri Para Bedebah, dan Pulang. Proses bencana alam dan perubahan iklim pada novel ini hanya dijelaskan secara umum, selayaknya perspektif orang awam. Ada banyak plot cerita di dalam buku ini. Percintaan, Persahabatan, Politik, dan Sains. Namun Penulis mampu menyatukan plot tersebut ke dalam satu cerita sehingga koheren.

Tidak seperti biasanya, kali ini tokoh bijaksana yang kerap menyampaikan nasihat ditampilkan pada tokoh yang berusia lebih muda. Penulis seolah ingin mendobrak stigma bahwa tidak hanya orang tua saja yang bisa lebih bijaksana dalam memahami kehidupan. Memang benar bahwa orang tua lebih banyak merasakan pahit ketir kehidupan. Namun usia muda tidak mejadi alasan untuk menjadi lebih bijaksana. Peristiwa-peristiwa berat dalam hidup bisa memaksa seseorang untuk menjadi bijaksana lebih dini.

Selamat membaca J

Yogyakarta, 27 Februari 2016
Sovia Sandhi

Selasa, 13 Oktober 2015

Fenomena Gajah Terbang

Pernahkah kalian mendengar cerita tentang Fenomena Gajah Terbang? Ya, mungkin sebagian kita pernah membacanya dari buku Hanum Salsabiela Rais yang judulnya Berjalan Di Atas Cahaya. Salah satu sub judul ceritanya bercerta tentang Fenomena Gajah Terbang. Aku belum tahu pasti dari mana asal cerita ini. Tapi sebenarnya cerita ini hanya analogi yang digunakan untuk menyadarkan kita mengenai fenomena latah yang terjadi dalam kehidupan keseharian kita.

Fenomena Gajah Terbang ini menganalogikan fenomena latah ini dengan seseorang yang tiba-tiba berteriak, “Lihat!! Ada gajah terbang di langit!”

Kemudian salah satu dari sekian banyak orang yang mendengar mengatakan, “Tidak ada gajah terbang di langit itu!”

Lantas orang yang berseru bahwa ada gajah terbang di langit berkata, “Astaga, apa kalian punya penyakit mata atau bagaimana? Tidakkah kalian melihat gajah sebesar itu terbang di langit?”

Lantas orang akan berseru mempercayainya satu persatu.

“Oh, ya, aku melihatnya! Luar biasa, ia memiliki sayap yang indah!

Kemudian orang lain yang sebenarnya tidak melihat akan ikut berseru juga, “Lihatlah! Ada seseorang yang naik diatasnya.”

Sumber: www.kusukasuka.com

Lantas apa yang akan kita lakukan jika kita berada di dalam keramaian itu?

Dalam hati tentu kita akan mengatakan, bahwa kita jelas tidak melihat gajah terbang itu. Tapi sanggupkah kita mengatakannya secara lantang bahwa kita memang tidak melihat gajah terbang itu? Atau kita ikut mengatakan bahwa kita melihat gajah terbang tersebut? atau justru kita hanya diam untuk mencari pilihan aman. Jika kita memilih untuk mengatakan bahwa kita jelas tidak melihat gajah terbang itu, kita harus terima untuk dikatakan memiliki penyakit mata atau bahkan bodoh. Sedangkan jika kita mengatkan bahwa kita melihat gajah terbang itu, tentu kita akan membohongi hati nurani kita sendiri, bahwa kita memang tidak melihat gajah terbang tersebut.

Inilah yang sebenarnya sangat dekat dengan kehidupan kita saat ini. Terlebih di era informasi saat ini, media sangat mudah dalam membentuk persepsi masyarakat, mengingat juga media memiliki agenda-agenda setting media. Sehingga persepsi masyarakat akan menjadi seragam, tergantung agenda setting apa yang sedang media jalankan. Televisi seolah menjadi trendsetter fenomena-fenomena yang terjadi di masyarakat. Contoh paling kecil saja. Teknologi. Teknologi baru yang digunakan ditelevisi. Tidak perlu menunggu waktu lama untuk menyebarkannya ke seluruh Indonesia. Dengan televisi, dalam waktu sepersekian detik, teknologi terbaru tersebut sudah bisa tersebar ke seluruh Indonesia. Perlahan sekelompok masyarakat mulai beranggapan bahwa teknologi yang ada di televisi tersebut patut dimiliki, jika tidak ingin dikatakan jadul. Tidak hanya pada teknologi, hal ini juga terjadi pada fashion, bahasa, gaya hidup, dan pemikiran.

Seperti misalnya, jika kita ke kampus menggunakan gaya pakaian yang berbeda dari kebanyakan teman, mungkin kita akan dikatakan aneh, ekstrem atau apa pun itu. Acuhkan saja. Selama kita tidak melanggar etika dan estetika berpakaian berdasarkan situasi dan kondisi, acuhkan saja. Be different guys!! Be someone who brave to shout out what we see and think. Bukan sekadar untuk menunjukkan bahwa kita berbeda. Namun yang terpenting adalah untuk menunjukkan kepada mereka yang masih diam, bahwa mereka memiliki teman.

Selasa, 15 September 2015

Berjalan Di Atas Cahaya

Judul Buku    : Berjalan DI Atas Cahaya
Penulis            : Hanum Salsabiela Rais, dkk
Penerbit          : PT Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : 2013
Tebal Buku    : 210 halaman

Kisah perjalanan Hanum tidak cukup berhenti di 99 Cahaya di Langit Eropa. Kini Hanum kembali menceritakan perjalanannya di Eropa, setelah mendapatkan pena dari seorang misterius ketika haji wada’. Jadilah Hamun ditakdirkan menuliskan kembali perjalanan hidup yang ia lalui di Benua Biru, Eropa. Dari perjalanan tentang misi tak mungkin, karena hanya diberi anggaran tiga ribu dollar untuk tiga orang selama delapan belas hari hidup di Eropa. Hingga anggaran yang kecil tersebut justru mempertemukannya dengan pembuat jam. Siapa sangka jam-jam bermerek terkenal dunia, seperti Rolex, Swisswatch, Hublet, Omega, Calvin Klein (CK) dan sederet merek dunia lainnya, ternyata lahir dari sebuah kota kecil. Bahkan nyaris seperti kota mati ketika hari libur.

Akan ada beragam kisah yang akan disuguhkan di dalam buku ini, karena buku ini merupakan kumpulan kisah nyata penulis-penulisnya. Kisah-kisah perjalanan dalam buku ini akan membawa kita berkeliling Eropa sejenak, dengan beragam kisah kehidupan muslim di Eropa. Namun tidak sekedar jalan-jalan. Karena akan ada pelajaran yang dapat dipetik di dalam buku ini. Kisah-kisah di dalam buku ini seperti magnet yang akan menarik keinginan kita untuk mengunjungi, bahkan tinggal di Eropa dengan segala keteraturan kehidupan masyarakatnya. Bahwa apa pun yang bukan milik mereka, mereka tidak berani menyentuhnya. Semua berjalan menyesuaikan sistem. Sungguh merupakan kehidupan yang sangat didambakan!

Bahasa yang digunakan di dalam buku ini sangat mudah dipahami, persis seperti seseorang yang sedang bercerita. Foto-foto yang ada di dalam buku ini juga sangat menunjang imajinasi pembaca. Sehingga pembaca tidak akan kesulitan untuk memvisualkan cerita-cerita yang di dalam buku ini. Singkatnya buku ini memberikan beragam kisah untuk menjadi agen muslim yang baik. Kita perlu merubah persepsi dunia tentang Islam seperti yang digembar-gemborkan oleh media saat ini. Karena setiap muslim adalah Public Relation (PR) bagi Islam. Bagi Hanum, apa pun yang manusia dengar, lihat, dan rasakan adalah cahaya dari-Nya. Itulah mengapa, manusia perlu menyadari bahwa ia selalu berjalan diatas cahaya-Nya.

Yogyakarta, 15 September 2015
Sovia Sandhi

Kamis, 10 September 2015

Kisah Sang Penandai

Judul Buku    : Kisah Sang Penandai
Penulis            : Tere Liye
Penerbit          : Mahaka
Tahun Terbit : 2014
Cetakan          : Ke-4

Jim mulanya hanyalah pria buta huruf, yang jatuh cinta kepada seorang Putri kerajaan negeri seberang. Seperti kebanyakan kisah cinta lainnya, hubungan cinta mereka jelas ditolak. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh Jim yang pengecut untuk memperjuankan cintanya. Bahkan untuk mengakhiri hidupnya yang sudah terasa sangat pahit pun, Jim sangat takut. Namun kisah ini menjadi berbeda ketika Jim terpilih untuk menjalani sebuah dongeng hidupnya. Hanya manusia terpilihlah yang memiliki kesempatan dari Sang Penandai untuk menuliskan dongeng hidupnya, hingga sampai pada kita saat ini.

Perjalanan ke Tanah Harapan pun ia tempuh demi menyibukkan diri dari rasa sakit karena ditinggalkan kekasih hati. Rupanya dalam perjalanan itu bukan hanya Jim saja yang sedang menjalani dongeng dari Sang Penandai. Siapakah orang itu? Dongeng apa yang sebenarnya orang itu miliki? Dan mampukah Jim menyelesaikan dongeng yang diberikan oleh Sang Penandai?

Sekali lagi Tere Liye mampu membawa pembacanya kepada jalan cerita yang tidak dapat ditebak. Pembaca seperti dituntut untuk membaca hingga selesai jika ingin mengetahui keseluruhan cerita. Gaya bahasa khas Tere Liye masih digunakan dalam buku ini, baku cenderung melayu. Ada beberapa kata yang asing dalam bahasa Indonesia pada umumnya, namun Tere Liye menjelaskan pada bagian footnote, sehingga pembaca tidak akan bingung dalam memaknai istilah yang digunakan Tere Liye.

Tidak perlu berpikir keras untuk bisa melogikakan kisah dalam buku ini. Karena  memang kisah yang disuguhkan dalam buku ini tidak jauh berbeda, dengan dongeng-dongeng yang berkembang dalam masyarakat. Namun bedanya, jalan cerita dongeng ini lebih kompleks dan panjang. Pesan moral yang ingin disampaikan oleh buku ini adalah untuk memberikan kesadaran kepada kita, bahwa tidak semua dongeng yang kita dengar adalah kisah terbaik yang layak menjadi panutan. Justru sebaliknya. Ada beberapa dongeng yang sebaiknya menjadi pelajaran saja, tanpa harus menjadi panutan. Ini seperti sindiran untuk kisah Romeo and Juliet.

Yogyakarta, 10 September 2015

Kamis, 03 September 2015

Islam Gak Liberal

Judul Buku    : Islam Gak Liberal
Penulis            : Zaky Ahmad Rivai
Penerbit          : Gema Insani
Tahun Terbit : Januari 2015
Tebal Buku    : 140 Halaman; 23 cm


Ilmu pengetahuan yang berkembang sangat pesat membuat situasi dunia saat ini sedang berada pada masa perang pemikiran. Saat ini bukan lagi masanya untuk berperang dengan cara angkat senjata ,ataupun imperialisme dengan cara militer. Berperang melalui pola pikir dirasa lebih efektif dan efisien untuk menguasai dunia. Inilah salah satu yang dilakukan Zaky Ahmad Rivai untuk menyuarakan pendapatnya melalui tulisan. Dari judul buku tersebut pembaca sudah dapat menebak garis besar pembahasan buku ini.

Kebebasan yang marak digaungkan, membuat setiap orang bebas berpendapat. Bagi orang awam dalam bidang agama atau pun akademisi, akan sulit memahami secara tepat apa itu Islam Liberal. Di dalam buku ini penulis menjelaskan pengertian Islam Liberal secara lebih sederhana, dengan analogi-analogi yang dekat dengan keseharian manusia. Islam secara bahasa adalah berserah diri. Sedangkan liberal identik dengan kebebasan. Dengan menggabungkan dua kata tersebut, maka akan terjadi tumpang tindih dalam memahami istilah tersebut. Inilah yang penulis jelaskan dalam buku ini. Selain di dalam buku ini juga akan dijelaskan mengenai faktor-faktor kemunculan paham ini, yang juga akan terkait dengan paham sekulerisme, pluralisme, relativisme, dan liberalisme.

Di dalam buku ini juga dijabarkan fenomena-fenomena realistis yang mendukung, untuk lebih memudahkan pembaca dalam memahami buku ini. Penulis pun secara gamblang mengkritisi tokoh-tokoh dan perguruan tinggi, yang berlawanan dengan pemahaman penulis. Beberapa ayat Al-Qur’an juga disematkan untuk mendukung pernyataan-pernyataan penulis.

Gaya bahasa sederhana bahkan cenderung gaul ini, sangat memudahkan pembaca dalam memahami topik yang sebenarnya cukup berat untuk dipahami. Layout dan visual yang ada pada setiap bab cukup membantu untuk memberikan kesan santai pada buku ini. Sehingga buku yang memuat topik mengenai berbagai ideologi dan konspirasi dibelakang Islam Liberal ini akan lebih mudah dipahami. Buku ini direkomendasikan bagi pembaca yang ingin memahami konspirasi di balik Islam Liberal secara sederhana. Mengingat buku ini ditulis dalam satu perspektif, maka pembaca dirasa perlu mencari referensi lain untuk menyeimbangkan dan melengkapi pemahaman mengenai Islam.

Yogyakarta, 3 September 2015

Yogyakarta, I'm Fall in Love

Ada nasihat mengatakan, untuk mengetahui seberapa besar kecintaanmu pada sesuatu, maka cobalah untuk pergi sejauh-jauhnya. Seberapa besar kerinduanmu kelak, maka sebesar itulah kecintaanmu pada sesuatu itu.

Aku pikir aku tidak akan pernah merindukannya. Aku pikir aku tidak akan punya kenangan di sana. Tapi rupanya kini aku begitu merindukannya. Tentang kehidupannya. Budayanya. Masyarakatnya. Semuanya. Dulu aku berpikir untuk mempercepat studiku agar segera dapat kembali ke hometown-ku. Aku pikir satu-satunya rumahku adalah daerah asalku. Tapi rupanya tidak lagi.

Aku Jatuh Cinta pada Yogyakarta. Tidak peduli dengan segala kemacetan dan polusi jalanan kota, bahkan kriminalitas yang lebih parah dibandingkan hometown-ku, Yogyakarta membuatku jatuh cinta dalam sekejap. Yogyakarta telah menjadi my second hometown. Rumah. Tidak peduli dimana pun kamu berada, jika kau merasa nyaman menjadi diri sendiri dengan segenap orang-orang yang menyayangimu dan kamu sayangi. Itulah rumahmu.

Suatu saat aku pasti akan sangat berat untuk meninggalkan Yogyakarta. Bahkan kelak aku pasti akan menangis karena meninggalkan Yogyakarta.

Nusa Dua, 22 Juni 2015